Ekonompedia.com – Dalam sebuah pengungkapan yang menarik perhatian publik, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa penerimaan pajak Indonesia mengalami perlambatan signifikan. Hingga Maret 2024, tercatat hanya sebesar Rp393,9 triliun, sebuah angka yang mencerminkan hampir 20% dari target yang ditetapkan¹.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang dinamika ekonomi dan kebijakan fiskal yang tengah berlangsung. Penerimaan pajak yang seret ini tidak hanya menandakan tantangan dalam mencapai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi juga mengindikasikan adanya faktor-faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi aliran kas negara.
Menurut data yang dirilis, terjadi peningkatan penerimaan pajak dari Januari 2024 yang terkumpul sebesar Rp 149,25 triliun, atau setara dengan 7,5 persen dari target. Namun, pertumbuhan ini tampaknya tidak cukup untuk mengimbangi target yang ambisius².
Sri Mulyani menyoroti penurunan harga komoditas pada tahun 2023 sebagai salah satu penyebab utama perlambatan penerimaan pajak. Penurunan ini berdampak pada permintaan restitusi oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri, yang pada gilirannya mempengaruhi penerimaan bruto negara⁴.
Realisasi penerimaan pajak hingga 15 Maret 2024 terdiri dari PPh non migas sebesar Rp 203,92 triliun atau 19,18 persen dari target, PPN dan PPnBM sebesar Rp 121,92 triliun atau 15,03 persen dari target, PPh Migas mencapai Rp 14,48 triliun atau 18,95 persen dari target, serta PBB dan pajak lainnya mencapai Rp 2,56 triliun atau 6,79 persen dari target⁵.
Dalam menghadapi situasi ini, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap strategi pengumpulan pajak dan mempertimbangkan penyesuaian kebijakan yang mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa target penerimaan pajak dapat tercapai. Ini termasuk memperkuat upaya penagihan pajak, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dan memperbaiki sistem perpajakan agar lebih efisien dan efektif.