Laporan Tahunan Bagi Peserta PPS

By Ekonompedia 5 Min Read
- Advertisement -

EKONOMPEDIA.COM – Jakarta, Laporan Tahunan bagi Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Pribadi yang telah mengikuti Program Pengungkapan Sukarela kini menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (5/1/2023).

Sesuai dengan Pasal 21 PMK 196/2021, pemberlakuan terhadap tambahan harta dan utang yang diungkapkan dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) sebagai perolehan harta baru dan perolehan utang baru wajib pajak sesuai tanggal Surat Keterangan.

“Serta dilaporkan pada SPT Tahunan pajak penghasilan tahun pajak 2022,” bunyi penggalan Pasal 21 ayat (2) PMK 196/2021.

Dengan demikian, wajib pajak juga tidak perlu melakukan pembetulan atas SPT Tahunan, baik tahun pajak 2021 maupun tahun pajak sebelumnya. Wajib pajak akan menerima Surat Keterangan yang menjadi dasar daftar harta pada 2022.

- Advertisement -

Kini Wajib Pajak bisa melaporkan Laporan Tahuanan, bagi Wajib Pajak PRibadi paling lambat bulan Maret 2023 dan bagi Wajib Pajak Badan paling lambat bulan April 2023

Selain mengenai pelaporan harta peserta PPS dalam SPT Tahunan 2022, ada pula ulasan terkait dengan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RPP KUPDRD) yang memungkinkan pemda mengetahui omzet pelaku usaha di daerah.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Pengungkapan Harta Saat Ikut PPS

Wajib pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan dan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang KUP harus membukukan nilai harta bersih yang disampaikan dalam SPPH sebagai tambahan atas saldo laba ditahan dalam neraca.

- Advertisement -

Sesuai dengan Pasal 21 ayat (3) PMK 196/2021, harta yang diungkapkan dalam SPPH yang berupa aktiva berwujud tidak dapat disusutkan untuk tujuan perpajakan. Kemudian, harta yang diungkapkan dalam SPPH yang berupa aktiva tidak berwujud, tidak dapat diamortisasi untuk tujuan perpajakan.

Investasi Harta yang Diungkap dalam PPS

Wajib pajak peserta PPS masih memiliki waktu untuk menginvestasikan harta bersihnya hingga 30 September 2023.

- Advertisement -

Pasal 15 PMK 196/2021 mengatur wajib pajak peserta PPS dapat menginvestasikan harta yang diungkapkan pada SBN dan kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan. Peserta PPS yang gagal memenuhi komitmen menginvestasikan harta bersih akan terkena sanksi.

“Wajib pajak yang menyatakan menginvestasikan harta bersih… wajib menginvestasikan harta bersih dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2023,” bunyi Pasal 15 ayat (4) PMK 196/2021.

Pemda Dapat Data Transaksi

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 117 RPP KUPDRD, pemda dapat meminta data kepada penyedia sarana komunikasi elektronik yang memfasilitasi transaksi.

“Data yang diminta dari pihak ketiga dapat berupa data transaksi penjualan makanan dan minuman dari aplikasi ojek dan sejenisnya,” ujar Direktur Kapasitas dan Pelaksanaan Transfer Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Bhimantara Widyajala.

Tak hanya transaksi penjualan makanan dan minuman, pemda juga dapat meminta data transaksi penyewaan kamar hotel yang dilakukan melalui aplikasi akomodasi.

Dengan adanya data pihak ketiga, pemda bakal memiliki data pembanding untuk mengetahui omzet riil dari konsumsi yang merupakan objek pajak daerah serta membantu upaya optimalisasi PBJT makanan dan minuman dan PBJT jasa perhotelan.

Petunjuk Teknis Pengenaan Jaminan Kepabeanan dan Cukai

Pemerintah resmi mengubah ketentuan mengenai jaminan dalam rangka kegiatan kepabeanan dan cukai mulai 1 Januari 2023.

Perubahan ketentuan mengenai jaminan dalam rangka kegiatan kepabeanan dan cukai itu telah diatur dalam PMK 168/2022. Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) juga telah menerbitkan Perdirjen No. PER-20/BC/2022 tentang petunjuk teknis pengelolaan jaminan dalam rangka kegiatan kepabeanan dan cukai.

“Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 41 PMK 168/2022 … perlu menetapkan perdirjen tentang petunjuk teknis pengelolaan jaminan dalam rangka kepabeanan dan cukai,” bunyi pertimbangan PER-20/BC/2022.

Pajak atas Natura

DJP menjelaskan kembali alasan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan akhirnya diperlakukan sebagai objek pajak penghasilan (PPh). Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan sebelumnya dikecualikan dari objek PPh. Namun, dalam implementasinya, fasilitas tersebut justru dinikmati oleh karyawan berpenghasilan tinggi.

“Selama ini, banyak pemberian natura yang tadinya dimaksudkan untuk membantu pegawai golongan bawah, tetapi dinikmati oleh manajer atau manajernya,” kata Kasubdit Penyuluhan Pajak Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Inge Diana Rismawanti. (red)

- Advertisement -
TAGGED:
Share This Article