Pemerintah Indonesia Diminta Mewaspadai Usulan Vietnam Terkait Noanchoring Area Sejauh 2 Mil Laut

2 Min Read
Pemerintah Indonesia Diminta Mewaspadai Usulan Vietnam Terkait Noanchoring Area Sejauh 2 Mil Laut
Pemerintah Indonesia Diminta Mewaspadai Usulan Vietnam Terkait Noanchoring Area Sejauh 2 Mil Laut
- Advertisement -

EKONOMPEDIA.COM- Pengamat maritim, Marcellus Hakeng Jayawibawa, meminta pemerintah Indonesia mewaspadai usulan Vietnam untuk menetapkan area tanpa jangkar (no-anchoring area) sejauh dua mil laut. “Usulan ini secara nyata melanggar peraturan internasional dan mencerminkan niat Vietnam untuk memperluas cakupan penangkapan ikan, yang secara langsung merugikan kepentingan Indonesia,” kata Hakeng.

Area tanpa jangkar adalah area di mana tidak seorang pun diperbolehkan membuang jangkar untuk kapal, pesawat terbang, atau fasilitas lainnya. Area ini disiapkan untuk melindungi pulau buatan, struktur, atau instalasi.

Hakeng menjelaskan, area tanpa jangkar yang diusulkan oleh Vietnam adalah dua mil laut, sesuai dengan peraturan nasionalnya. Namun, berdasarkan zona keselamatan dalam UNCLOS 1982 dan regulasi International Maritime Organization, batasannya adalah 500 meter. Oleh karena itu, usulan Vietnam telah melampaui cakupan hukum internasional.

Selain tuntutan area tanpa jangkar yang berlebihan, Pemerintah Indonesia juga diminta mewaspadai langkah-langkah Vietnam lainnya, seperti aktivitas reklamasi di Laut Natuna Utara, peningkatan kehadiran militer, dan aktivitas maritim yang bersifat provokatif.

- Advertisement -

“Hal ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran serius terkait potensi peningkatan kegiatan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU), tetapi juga peningkatan kriminalitas di ZEE Indonesia,” katanya.

Isu lain yang perlu diwaspadai adalah definisi Fish Aggregating Devices (FAD). Vietnam berpendapat bahwa FAD perlu didefinisikan sebagai struktur atau instalasi.

“Jika FAD didefinisikan sebagai struktur atau instalasi, maka Vietnam akan menempati area operasi laut dan area tanpa jangkar yang lebih luas di area tumpang tindih yurisdiksi. Hal ini akan merugikan Indonesia secara besar dan mengurangi mata pencaharian nelayan Indonesia,” jelas Hakeng.

Sebagai negara maritim, kita semua berhak mendapatkan keadilan dan kepastian hukum di lautan. Kita berhak mengetahui bagaimana hukum internasional diterapkan dan berhak mendapatkan transparansi dan akuntabilitas. Mari kita berharap bahwa kebijakan ini akan memberikan manfaat bagi kita semua dan menjadi langkah maju dalam pembangunan maritim di Indonesia.

- Advertisement -
Share This Article