Ekonompedia.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah mengawasi capaian rasio perpajakan atau tax ratio di era dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa rasio ini cenderung menurun bahkan stagnan dibandingkan dengan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Anggota Komisi XI DPR dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Primus Yustisio, menyoroti fakta bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya memamerkan keberhasilan penerimaan negara yang melampaui target, namun tidak dengan tax ratio. Selama pemerintahan Jokowi dari 2014 hingga 2024, tax ratio cenderung stagnan di level 10%. Dalam perbandingan langsung dengan masa pemerintahan SBY, rasio pajak di era Jokowi justru menjadi yang terendah.
Primus juga menyoroti potensi pajak dari kegiatan digital yang layak untuk didorong oleh DJP. Hingga April 2024, DJP mencatat adanya 172 pelaku Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penerimaan pajak dari sektor usaha ekonomi digital mencapai Rp24,12 triliun, termasuk dari pemungutan PPN PMSE, pajak kripto, pajak fintech (P2P lending), dan pajak atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP).
Perbandingan rasio pajak Indonesia di era SBY dan Jokowi menunjukkan tren penurunan yang berlanjut. Meski sama-sama mengalami penurunan, rasio pajak di zaman SBY pernah mencapai angka 13%, sementara pada 2022, rasio pajak terhadap PDB Indonesia hanya sebesar 10,39%123.
Semoga informasi ini membantu Anda memahami perbandingan tax ratio antara dua periode pemerintahan yang berbeda. Jangan ragu untuk bertanya lebih lanjut! 😊