EKONOMPEDIA.COM-Musim hujan membawa berkah bagi warga yang tinggal di pinggiran hutan di Kabupaten Bojonegoro. Warga berburu enthung (Hyblaea puera) atau ungker, sejenis kepompong ulat yang memakan daun jati di hutan.
Lokasinya tersebar dan mudah ditemukan hampir di kawasan hutan jati di Bojonegoro. Salah satunya di hutan jati sekitar ladang gas Jambaran-Tiung Biru (JTB) di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Setiap tahun, warga memanfaatkan momen ini untuk berburu enthung (Hyblaea puera) atau ungker, sejenis kepompong ulat yang memakan daun jati di hutan sekitar lokasi Gas Processing Facility (GPF) JTB.
Entung yang diburu warga tentu saja karena harganya. Saat musim entung ini, harga antara Rp80 ribu per kilogram hingga Rp100 ribu per kilogramnya. “Saya beli dengan harga segitu,” ujar Budi,57, tahun, warga Batokan Kasiman, Bojonegoro, pada Ekonompedia.com, Sabtu 23 November 2024.
Pria penggemar masakan enthung ini mengaku, saat pancaroba dari kemarau ke musim hujan, saatnya memasak kepompong warna cokelat ini. Jenis masakannya bisa dipepes, dibuat oseng-oseng, botok dan beragamnya.”Wah proten tinggi ini,” tegaspensiunan salah satu BUMN di Kabupaten Blora ini.
Untuk berburu entung, warga di beberapa desa di Kecamatan Ngasem, berada di kawasan hutan jati tak jauh dari lokasi JTB. Ada belasan Ibu-Ibu dan remaja yang telaten mengumpulkan kepompong yang bersembunyi di balik daun jati kering yang jatuh berserakan. Enthung yang telah terkumpul, selanjutnya dibawa pulang.”Gak terlalu sulit untuk menemukan,” papar Joko, warga Desa Ngumpakdalem, Kecamatan Dander. Dia kerap mencari enthung di daerah hutana hati di Kecamatan Ngasem, terutama saat sedang musim seperti sekarang ini.
Bagi warga di Kabupaten Bojonegoro yang tinggal tak jauh dari hutan, enthung salah satu makanan favorit. Warga meyakini entung merupakan sumber lauk bergizi yang dapat mengurangi pengeluaran belanja. Biasanya, enthung diolah dengan cara digoreng atau ditumis, menghasilkan cita rasa yang lezat.
Meski demikian, bagi yang belum terbiasa mengonsumsinya, enthung dapat menyebabkan alergi berupa gatal-gatal di kulit. “Uenak pool rasanya kalau ditumis,” tegas Yuni,55, tahun, warga Kecamatan Malo, Bojonegoro.
Biasanya berburu enthung dilakukan hanya berlangsung setahun sekali, terutama pada awal musim hujan. Jika hujan turun terus-menerus, enthung akan kembali menghilang karena daun jati menghijau, dan sebagian besar enthung berubah menjadi kaper atau kupu-kupu kecil.Saat musim enthung datang, biasanya warga banyak berburu. Selain karena rasanya yang lezat jika diolah jadi masakan, juga harganya cukup mahal. Sehingga enthung yang dijual membantu untuk perekonomian warga. Namun, seiring dengan berkurangnya musim hujan, membuat jumlah enthung mulai berkurang.
”Gak seperti dahulu, mudah cari enthung, selain karena jarang yang cari, juga sekarang orang sudah banyak yang tahu enthung harganya mahal,” tegas Joko, pencari entung.
Saat ini, populasi enthung mulai berkurang. Selain banyak warga yang berburu, hujan yang sering turun membuat daun jati cepat menghijau, sehingga enthung sulit ditemukan. Meski begitu, fenomena unik ini tetap menjadi tradisi tahunan yang dinanti warga setempat.
Penulis : Widiatmiko