Ekonompedia.com – Jelang Hari Raya Idul Fitri, isu mengenai Tunjangan Hari Raya (THR) bagi pengemudi ojek online (ojol) kembali mencuat. Polemik ini menghadirkan dilema antara hak pekerja dan realita bisnis di tengah situasi ekonomi yang dinamis.
Sebagai pekerja informal, pengemudi ojol berhak mendapatkan THR, seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja/Buruh. THR merupakan pendapatan non-upah yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh menjelang Hari Raya Keagamaan.
Di sisi lain, perusahaan aplikator ojol sebagai platform yang mempertemukan pengemudi dan konsumen, memiliki realita bisnis yang perlu dipertimbangkan. Model bisnis ojol saat ini masih bertumpu pada subsidi dan belum mencapai profitabilitas. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa perusahaan aplikator ojol belum memberikan kepastian terkait THR bagi pengemudi.
Mencari Solusi yang Berimbang:
Menemukan solusi yang berimbang antara hak pekerja dan realita bisnis menjadi kunci utama dalam menyelesaikan polemik THR ojol. Berikut beberapa opsi yang dapat dikaji:
- Skema THR Non-Uang: Pemerintah, perusahaan aplikator ojol, dan perwakilan pengemudi ojol dapat merumuskan skema THR non-uang, seperti potongan harga bahan bakar, subsidi servis kendaraan, atau akses ke program pelatihan dan pengembangan diri.
- Pendanaan dari Berbagai Pihak: Dana THR dapat diupayakan dari berbagai sumber, seperti kolaborasi dengan pemerintah, perusahaan swasta, ataupun melalui program crowdfunding.
- Dialog Terbuka dan Transparan: Diperlukan dialog terbuka dan transparan antara pemerintah, perusahaan aplikator ojol, dan perwakilan pengemudi ojol untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak.
Menjelang Lebaran 2024, diharapkan solusi yang adil dan berkelanjutan dapat dirumuskan untuk memastikan THR bagi pengemudi ojol. Hal ini penting untuk menjaga kesejahteraan pekerja, meningkatkan daya beli masyarakat, dan mendukung kelancaran roda ekonomi.