EKONOMPEDIA.COM – Opini, Di negara kita tercinta Indonesia, profesi sebagai pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah dambaan mayoritas insan usia pencari kerja, bahkan orang tua ada kebanggaan tersendiri tatkala anaknya bisa diterima sebagai ASN sehingga pendaftaran sebagai ASN selalu menjadi yang diincar oleh para pencari kerja, ribuan bahkan jutaan pendaftar dari seluruh Indonesia berlomba-lomba untuk bisa memperoleh posisi sebagai ASN.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, ASN terbagi menjadi dua jenis yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau disingkat dengan P3K.
Dunia pendidikan di tanah air sempat gaduh, para pimpinan yayasan atau minimal ketua atau kepala lembaga banyak yang gundah karena ada salah satu atau bahkan separuh lebih dari tenaga pendidiknya terekrut menjadi pegawai pemerintah melalui program PPPK.
Program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) adalah sebuah fenomena, harapan sekaligus tantangan. Harapan bagi para guru dan tantangan bagi lembaga.
Pada suatu malam datanglah tamu tenaga pendidik, setelah ada bincang-bincang basa-basi akhirnya tiba kata-kata pamit, pamit bukan untuk pulang undur diri, tapi pamit agar mendapat ijin tidak lagi mengabdi sebagai tenaga pendidik karena telah diterima secara resmi menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Serasa disambar petir di siang bolong mendengar kabar seperti itu, tetapi kita tentu tidak bisa menolak kenyataan ini, sebab hal tersebut adalah keniscayaan yang didambakan oleh pendidik, mendapatkan status dan pendapatan rizki yang pasti.
Program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) secara umum telah menimbulkan gonjang-ganjing bagi sekolah swasta, sekolah-sekolah swasta itu kelimpungan karena harus kehilangan kader-kader terbaiknya.
Menanggapi hal seperti ini kita harus bersikap dewasa, tidak boleh cengeng, jangan merajuk, dan menyalahkan pihak-pihak tertentu, baik kepada pendidik yang terekrut melalui program ini dengan mengatakannya kurang loyal, moto duwiten, lupa perjuangan, dan lain-lain. Atau lebih-lebih menyalahkan kepada pemerintah yang telah merebut kader terbaik melalui sistem yang dibuat.
Sekolah/madrasah secara kelembagaan tetap harus berbangga karena telah mendidik insan kader pilihan. Lembaga telah membuat sistem yang bagus dan kuat sehingga si pendidik yang terekrut oleh program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) telah dapat belajar darinya. Lembaga tetap bersyukur telah mampu menghantarkan ia menemukan rizkinya, dan unsur kedua ini yang menjadi faktor utama.
Menjadi pembelajaran
Ketika melihat realita yang ada, konon kader disebut telah menyeberang, seharusnya lembaga segera berbenah, ia ciptakan sebuah sistem sehingga para kader bisa belajar menjadi pandai dan sekaligus bisa menemukan rizkinya tidak di tempat lain, melainkan ia temukan rizkinya di tempat ia belajar, di tempat ia mengawali karier di dunia pendidikan, dan sebenarnya kondisi ini secara mental ia lebih nyaman.
Harapan,
Maka cepatlah besar wahai lembaga hebat, segera menjadi payung lebar yang bisa menaungi para kader yang berjuang untuk tegaknya kalimat tauhid juga berjuang untuk tetap bertahan agar dapur tetap mengepul, si kader tetap bertahan di lahan perjuangan awal tidak perlu mencari pendapatan layak dari tempat lain.
Selamat Hari Guru Nasional,
“Serentak Berinovasi, Wujudkan Merdeka Belajar”
Penulis adalah Kepala MI Muhammadiyah 7 Kenep, sekretaris MPK PDM Bojonegoro