Ekonompedia.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, baru-baru ini menyampaikan pernyataan yang menggemparkan: Indonesia terpaksa kembali mengimpor pangan akibat perubahan iklim yang mengganggu produksi dalam negeri. Pernyataan ini bagaikan bom waktu yang memicu perdebatan sengit, memunculkan pertanyaan mendasar: di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk memenuhi perut rakyat, di sisi lain, ada kekhawatiran akan terkikisnya kedaulatan pangan bangsa.
Data statistik tak terbantahkan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2023, Indonesia mengimpor beras sebanyak 2,53 juta ton, gula 4,55 juta ton, daging sapi 214.27 ribu ton, dan jagung 892.08 ribu ton. Angka-angka ini menunjukkan ketergantungan yang cukup besar pada pasokan luar negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok rakyat Indonesia.
Perubahan iklim menjadi biang keladi di balik situasi ini. Pola curah hujan yang tak menentu, kekeringan berkepanjangan, dan serangan hama penyakit tanaman menjadi faktor utama yang menghambat produksi pangan dalam negeri. Hal ini diperparah dengan keterbatasan infrastruktur pertanian, seperti irigasi dan teknologi modern, yang belum menjangkau seluruh pelosok negeri.
Di tengah situasi genting ini, impor pangan menjadi solusi temporer untuk menjamin ketersediaan pangan bagi rakyat. Namun, solusi ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, ia meredakan krisis pangan dan menjaga stabilitas sosial. Di sisi lain, ia memicu kekhawatiran akan ketergantungan berlebihan pada negara lain, melemahkan posisi tawar Indonesia di pasar internasional, dan berpotensi menggerus kedaulatan pangan bangsa.
Lalu, apa solusinya? Tak ada jawaban mudah. Diperlukan upaya komprehensif dan berkelanjutan untuk membangun ketahanan pangan nasional. Memperkuat infrastruktur pertanian, meningkatkan adopsi teknologi modern, dan mendorong diversifikasi tanaman pangan menjadi kunci utama. Di samping itu, edukasi dan pemberdayaan petani juga tak boleh luput dari perhatian.
Pemerintah telah menunjukkan komitmennya melalui berbagai program, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk sektor pertanian, bantuan benih dan pupuk, serta pembangunan infrastruktur irigasi. Namun, upaya ini perlu diperkuat dan diperluas jangkauannya.
Masyarakat pun tak boleh tinggal diam. Konsumsi pangan lokal, mendukung produk petani dalam negeri, dan menjaga kelestarian lingkungan menjadi langkah nyata yang dapat dilakukan.
Impor pangan bagaikan tamparan pahit yang mengingatkan kita tentang pentingnya membangun ketahanan pangan nasional. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen bangsa. Mari bergandengan tangan, bahu membahu, demi mewujudkan kedaulatan pangan yang kokoh dan tangguh, demi masa depan bangsa yang lebih cerah.