EKONOMPEDIA.COM, Bambolin, India, 22 Juli (Reuters) – Pertemuan ekonomi akbar G20 pada hari Sabtu di India gagal mencapai titik temu dalam pengurangan bahan bakar fosil dikarenakan penolakan dari berbagai negara produsen.
Ilmuan dan aktivis geram dengan tindakan badan internasional yang terus mengulur-ulur aksi pengendalian pemanasan global meskipun cuaca ekstrem yang melanda dari China hingga Amerika Serikat telah memberi bukti bahwa dunia sedang menghapai krisis pemanasan global tersebut.
Negara-negara anggota G20 bersama-sama bertanggung jawab terhadap lebih dari tiga perempat dari keseluruhan emisi global dan Produk Domestik Bruto (PDB). Peran kumulatif anggota dalam dekarbonisasi sangat krusial terhadap usaha global untuk memerangi pemanasan global.
Namun, berbagai pertentangan termasuk terhadap niat untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan menjadi tiga kali lipat pada tahun 2030 mengakibatkan para pejabat mengeluarkan outcome statement dan chair summary alih-alih sebuah joint communique pada akhir pertemuan hari keempat di Bambolim, daerah pesisir Goa, India.
Joint communique diterbitkan ketika negara-negara anggota sepenuhnya setuju terhadap semua poin permasalahan.
“Kami memiliki kesepakatan utuh untuk 22 dari 29 paragraf, dan tujuh paragraf lainnya merupakan chair summary,” ujar Menteri Ketenagalistrikan India R.K. Singh.
Sebagian mendesak negara-negara berkembang untuk menyampaikan rencana mereka tentang keikutsertaan dalam mengerahkan 100 miliar Dolar A.S. tiap tahun untuk aksi iklim di negara-negara dengan ekonomi berkembang dari 2020-2025, dan gambaran perang di Ukraina, juga menghindari konsensus.
Penggunaan bahan bakar fosil menjadi kambing hitam dalam diskusi seharian penuh tersebut, tetapi para pejabat gagal mencapai permufakatan untuk membatasi penggunaan bahan bakar fosil “tanpa henti” dan saling memperdebatkan cara untuk mengurangi emisi, ujar dua sumber yang mengetahui masalah ini.
Dalam draft hari Jumat malam yang direview oleh Reuters tercantum: “Pentingnya melakukan upaya untuk mengurangi presistensi bahan bakar fosil, sejalan dengan kondisi nasional yang berbeda-beda, ditekankan”
Namun kemudian, chair statement yang dirilis pada hari Sabtu mencakup hal yang pada draft Jumat tidak dicantumkan yaitu kekhawatiran dari beberapa anggota negara, mencatat bahwa “negara lainnya memiliki pandangan yang berbeda bahwa teknologi pengurangan dan penghilangan akan mengatasi masalah.”
Singh, dalam press briefing setalah konferensi berlangsung, mengatakan bahwa beberapa negara ingin menggunakan carbon capture (Sistem Penangkapan CO2) alih-alih mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Negara-negara tersebut tidak disebutkan.
Produsen utama bahan bakar fosil Saudi Arabia, Rusia, China, Afrika Selatan, dan Indonesia diketahui menentang target pelipatgandaan energi terbarukan menjadi tiga kali lipat pada dekade ini.